Bandar Lampung, beritapolisi.co.id
Restorasi Untuk Kebijakan (RUBIK) dan Gerakan Masyarakat Bongkar Korupsi (GEMBOK) Provinsi Lampung melaporkan tiga Organisasi Perangkat Daerah (OPD) di Kabupaten Way Kanan ke Kejaksaan Tinggi Lampung terkait dugaan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dalam pengelolaan anggaran tahun 2024.
Ketua Umum RUBIK, Feri Yunizar, bersama Ketua Umum GEMBOK Provinsi Lampung, Andre Saputra, S.H., menyerahkan tiga laporan terpisah yang mengungkap dugaan penyimpangan anggaran di Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Pemadam Kebakaran, Sekretariat DPRD, serta RSUD Zainal Abidin Pagar Alam Kabupaten Way Kanan.
“Berdasarkan hasil investigasi dan monitoring lapangan, kami menemukan sejumlah kejanggalan yang mengarah pada dugaan korupsi berantai dengan modus mark-up, double budgeting, dan manipulasi dokumen pertanggungjawaban,” ujar Feri Yunizar saat mengonfirmasi pengiriman laporan pada Minggu (27/10/2025).
Laporan pertama menyoroti pengelolaan anggaran di Satpol PP dan Pemadam Kebakaran dengan total perencanaan mencapai Rp 6,4 miliar. Dari jumlah tersebut, nilai pemilihan dan kontrak sebesar Rp 288,8 juta diduga mengandung unsur penyimpangan.
Andre Saputra menjelaskan, dugaan penyimpangan meliputi belanja alat tulis kantor (ATK) 19 paket senilai Rp 101,1 juta, belanja bahan cetak Rp 77,2 juta, belanja makan minum rapat dan jamuan tamu Rp 286,2 juta, serta belanja bahan bakar dan pelumas Rp 97,2 juta.
“Kami menduga terjadi persekongkolan antara penyedia dan pengelola pengadaan. Beberapa vendor diduga berafiliasi dengan oknum pegawai, menciptakan konflik kepentingan dalam proses pengadaan,” ungkap Andre Saputra.
Temuan lain menunjukkan adanya ketidaksesuaian volume barang, manipulasi dokumen pertanggungjawaban, dan pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan riil. Khusus belanja perjalanan dinas, diduga terdapat ketidaklengkapan dokumen, pembayaran melebihi standar, dan pelaksanaan yang tidak sesuai jadwal.
Laporan kedua mengungkap dugaan penyimpangan di Sekretariat DPRD dengan anggaran perencanaan Rp 22,9 miliar. Nilai pemilihan dan kontrak yang disorot mencapai Rp 2,1 miliar.
Feri Yunizar merinci, belanja makanan dan minuman jamuan tamu yang dikerjakan penyedia NAYLA mencapai Rp 636 juta, belanja makanan dan minuman rapat Rp 279,1 juta, dan belanja makanan dan minuman aktivitas lapangan Rp 2,4 miliar.
“Pola yang sama terulang: mark-up harga satuan dan jumlah orang, pengurangan jumlah hari dan porsi makan saat realisasi, namun SPJ menggunakan administrasi awal,” terang Feri Yunizar.
Dugaan lain meliputi pengadaan pakaian dinas DPRD senilai Rp 699 juta yang diduga tidak sesuai standar harga satuan, belanja jasa tenaga kebersihan Rp 211,2 juta dengan dugaan ketidaksesuaian jumlah pekerja, dan medical check-up Rp 100 juta yang diduga tidak sesuai antara peserta dengan bukti pembayaran.
Perjalanan dinas juga menjadi sorotan dengan total anggaran mencapai Rp 7 miliar. “Terdapat ketidaklengkapan dokumen, pembayaran melebihi standar, dan kunjungan kerja yang tidak relevan dengan fungsi pengawasan DPRD,” tambah Andre Saputra.
Laporan ketiga menyasar RSUD Zainal Abidin Pagar Alam dengan anggaran perencanaan Rp 42,9 miliar dan nilai pemilihan serta kontrak Rp 7,8 miliar.
Feri Yunizar menguraikan, belanja bahan baku makanan pasien rawat inap yang dikerjakan Toko Sembako Berkah mencapai Rp 620,9 juta, penyediaan makan minum petugas jaga Rp 341 juta, dan belanja jasa tenaga kebersihan Rp 836,7 juta.
“Pada belanja jasa kebersihan, kami menduga ada ketidaksesuaian antara jumlah yang dibayar dengan pekerja di lapangan, tidak ada absensi memadai, dan mark-up biaya yang tidak sesuai standar upah,” jelas Feri Yunizar.
Pengadaan alat kesehatan juga disorot, termasuk konstruksi bangunan CT Scan Rp 960 juta, kontruksi ruangan sitotoksik Rp 1,3 miliar, belanja modal alat kedokteran anak Rp 2 miliar, dan belanja obat-obatan Rp 175,8 juta.
Andre Saputra menegaskan, pola penyimpangan di ketiga OPD menunjukkan modus yang sistematis dan terstruktur. “Mulai dari perencanaan yang menggunakan copy-paste tanpa memperkirakan kebutuhan riil, persekongkolan dalam pengadaan, hingga manipulasi dokumen pertanggungjawaban.”
Beberapa kegiatan juga diduga melanggar Perpres No. 33 Tahun 2020 tentang standar harga satuan regional.
“Kepala daerah memang bisa menetapkan standar harga, namun harus merujuk Perpres sebagai acuan tertinggi dengan prinsip efisiensi dan kewajaran,” ujar Andre Saputra.
Kedua organisasi meminta Kejaksaan Tinggi Lampung segera melakukan penyelidikan dan penyidikan, termasuk memanggil dan memeriksa pihak terkait serta menarik semua dokumen pengelolaan anggaran.
“Kami meminta aparat penegak hukum mengusut tuntas karena ini berpotensi merugikan keuangan negara dan masyarakat Way Kanan. Temuan kami menunjukkan dugaan gratifikasi berantai dan berjamaah yang tidak sehat,” tegas Feri Yunizar.
Laporan dilengkapi dengan dasar hukum UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan berbagai peraturan terkait whistle blowing system di lingkungan Kejaksaan RI.
Tiem












